Mengenal Guryong, Cerita Lain Dari Distrik Gangnam Di Seoul



Ada yang sudah baca tulisan saya tentang Kamagasaki, sebuah kota yang sengaja dihilangkan dari peta Jepang? Ada yang merasa kaget nggak karena ternyata, di negara semodern Jepang pun masih ada sebuah area kumuh yang tidak diakui oleh pemerintah, bahkan sengaja dihilangkan dari peta dan dibatasi penyebutannya. Atau mungkin merasa biasa-biasa saja? Ya, sebetulnya adanya area kumuh di sebuah kota merupakan hal yang tak bisa dihindari. Nggak usah jauh-jauh. Di Jakarta pun daerah kumuh jumlahnya tidak sedikit, tersembunyi dibalik megahnya gedung-gedung tinggi. Respon penduduk kota pun beragam. Ada yang peduli, ada yang masa bodoh, ada juga yang memanfaatkan kondisi tersebut untuk menjalankan tur kemiskinan, walau salah satu yang cukup ekstrim (bagi saya) adalah penghilangan dari peta dan sikap pemerintah yang pura-pura tidak tahu.

Namun percaya atau tidak, Kamagasaki bukan satu-satunya daerah yang tak dianggap dalam sebuah kota modern seperti Osaka lho. Di Seoul, sebuah kota yang dikenal sebagai ibu kota Korea Selatan, juga ada daerah kumuh yang keberadaannya dianaktirikan dalam peta setempat. Penasaran?

Sekilas info

Pecinta Korea, khususnya pecinta Korean Wave, pasti sudah mengenal Seoul sebagai salah satu kota terbesar dan termodern di Korea Selatan. Distrik Gangnam, salah satu distrik kelas atas yang popularitasnya dilejitkan oleh penyanyi Psy lewat lagunya yang berjudul “Gangnam Style”, pun terletak di Seoul. Namun tahukah Anda, jika berjarak 6 jalur jalan tol dari Gangnam terdapat sebuah distrik populasi kumuh terbesar di Seoul?

Adalah Guryong, nama desa yang menjadi daerah kumuh terbesar di Seoul tersebut. Sama seperti Kamagasaki, tempat yang memiliki arti harfiah “sembilan naga” ini tidak bisa ditemukan dalam peta apapun. Ironisnya, jaraknya memang tak begitu jauh dari pusat Distrik Gangnam, bahkan masih masuk ke dalam distrik mewah tersebut. Tepatnya, tempat ini terletak di kaki Bukit Guryong. Jika melihat pada Google Maps, Anda hanya dapat menemukan stasiun Guryong namun tidak dapat menemukan daerah Guryong. Padahal daerah ini cukup luas, mencapai 30 hektar, dengan jumlah populasi lebih dari 2500 orang.

Guryong saat musim salju
Warga Desa Guryong berjalan di sebuah gang di Desa Guryong, Seoul, Korea Selatan, beberapa waktu lalu. Di tengah gedung pencakar langit dan biaya hidup tinggi di Seoul ternyata terdapat Desa Guryong yang miskin. Warganya hidup dari bercocok tanam dan rumah yang terbuat dari kardus.
Stasiun Guryong

Sejarah Guryong

Berbeda dengan Kamagasaki yang memiliki sejarah mulai tahun 1920-an, sejarah Guryong baru dimulai pada tahun 1980-an. Semua berawal saat Seoul mulai berbenah untuk menjadi tuan rumah Seoul Olympic tahun 1988. Ribuan rumah menjadi korban penggusuran, dan mereka yang tak sanggup membeli rumah akhirnya menyingkir ke lahan kosong yang berada di salah satu sudut distrik Gangnam. Area tersebut kemudian berkembang menjadi Guryong, yang nuansanya sangat kontras dengan megahnya pusat lifestyle di daerah Gangnam. Tak heran jika banyak yang berpendapat “Guryong: ada di Gangnam namun jauh dari Gangnam”.

Warga beraktifitas di Desa Guryong, Seoul, Korea Selatan, beberapa waktu lalu. Di tengah gedung pencakar langit dan biaya hidup tinggi di Seoul ternyata terdapat Desa Guryong yang miskin. Warganya hidup dari bercocok tanam dan rumah yang terbuat dari kardus.

Warga berjalan di sebuah gang di Desa Guryong, Seoul, Korea Selatan, beberapa waktu lalu. Di tengah gedung pencakar langit dan biaya hidup tinggi di Seoul ternyata terdapat Desa Guryong yang miskin. Warganya hidup dari bercocok tanam dan rumah yang terbuat dari kardus.

Apa saja yang ada di Guryong?

Dari segi fisik, di Guryong mayoritas bangunannya adalah bangunan semi permanen yang dibangun dari bahan-bahan bekas konstruksi. Tak perlu jadi jenius untuk bisa menebak jika penghuni di area ini mayoritas merupakan penghuni ilegal. Status ilegal tersebut membuat daerah Guryong tidak mendapatkan berbagai fasilitas seperti sistem kelistrikan, gas, dan fasilitas kehidupan standar lainnya.

Kesulitan di Guryong baru terasa saat musim salju tiba, karena dinginnya bisa mencapai dibawah nol derajat Celcius (baca disini untuk info tentang musim dingin di Korea Selatan). Biasanya, alih-alih mengandalkan pemanas gas, warga akan mengandalkan pemanas arang yang rata-rata didapat dari sumbangan yayasan/organisasi non profit. Namun secara keseluruhan, walau sifatnya seadanya, di Guryong sebetulnya sudah ada juga beberapa fasilitas publik yang bisa dinikmati oleh masyarakat seperti gereja dan sepetak tanah untuk bercocok tanam.

Warga menjemur hasil bercocok tanam di Desa Guryong.

Gereja kecil berdiri di tengah pemukiman miskin di Desa Guryong.
Sedangkan untuk karakteristik penghuni, mayoritas penghuni di Guryong adalah generasi tua yang berumur antara 60-80 tahun yang tinggal seorang diri. Rata-rata mereka bekerja sebagai pemulung, pekerja kasar, pekerja cabutan, dengan penghasilan yang sangat minim. Kebutuhan akan makanan biasanya dibantu oleh sumbangan dari pihak lain, baik organisasi non profit maupun sukarelawan. Kontras sekali dengan area Gangnam yang serba gemerlap dan wah.

Pencakar langit berdiri di dekat Desa Guryong.

Warga berjalan di sebuah gang di Desa Guryong, Seoul, Korea Selatan, beberapa waktu lalu. Di tengah gedung pencakar langit dan biaya hidup tinggi di Seoul ternyata terdapat Desa Guryong yang miskin. Warganya hidup dari bercocok tanam dan rumah yang terbuat dari kardus.

Apakah Guryong berbahaya?

Tidak ada data jelas tentang tingkat kriminalitas di Guryong, karena sumber informasi tentang Guryong pun sangat terbatas. Yang pasti, kawasan Guryong ini sudah cukup sering disentuh oleh relawan, baik secara pribadi maupun dikoordinir oleh organisasi/yayasan non-profit. Saking seringnya, tak jarang dalam satu kesempatan ada beberapa grup yang melakukan kegiatan amal di tempat ini, mulai dari membagikan makanan, hingga membantu mengatasi masalah saat musim dingin tiba. Jadi wilayah Guryong ini sudah cukup terbiasa dengan orang asing, walau sekali lagi saya nggak bisa menginformasikan seberapa aman suasana disana.

Warga berjalan di sebuah gang di Desa Guryong, Seoul, Korea Selatan, beberapa waktu lalu. Di tengah gedung pencakar langit dan biaya hidup tinggi di Seoul ternyata terdapat Desa Guryong yang miskin. Warganya hidup dari bercocok tanam dan rumah yang terbuat dari kardus.
Seorang penduduk yang menikmati waktu dantai di dalam rumah sederhananya
Fakta lain tentang Guryong

Seperti halnya pemukiman liar di Indonesia, Guryong pun tak lepas dari isu-isu negatif. Ada yang menyebut jika tanah di Guryong sebetulnya sudah ada yang memiliki, namun rencana pembangunan selalu gagal karena ditolak oleh penduduk setempat. Ada juga tudingan jika masyarakat setempat bertindak sebagai spekulator yang memainkan harga agar bersedia direlokasi dengan uang ganti yang sangat tinggi. Maklum, daerah Gangnam harga tanahnya memang sudah sangat melambung.

Diluar isu tersebut, saya sharing tentang Guryong sekedar untuk memberi tambahan informasi bagi teman-teman. Dibalik populernya Korean Wave ke seluruh dunia, dibalik gemerlapnya daerah Gangnam di Seoul, tempat-tempat seperti Guryong pasti selalu ada. Jika sempat berwisata ke Seoul, tak ada salahnya mampir sebentar ke Guryong untuk melihat realita dibalik pesona Gangnam Style.

Bagi yang ingin main ke Guryong, salah satu cara yang bisa dipakai adalah dengan naik kereta dan turun di Stasiun Dogok yang ada di Gangnam. Dari sana, tinggal naik bis selama 10 menit menuju Guryong. Bisa juga dengan naik Bundang Line dan turun di Stasiun Guryong. Semoga bermanfaat.


2 juli 2014
Micky Saputra
Tempat Unik
Sumber

Micky R Saputra

1 comment:

  1. makasih ats infonya sangat membantu, dan jangan lupa kunjungi website kami http://bit.ly/2PQ5HiL

    ReplyDelete