Hampir di setiap sudut negeri ini terdapat tempat-tempat yang
menjanjikan keindahan di balik namanya yang belum santer terdengar.
Salah satunya adalah Desa Adat Wae Rebo di pedalaman eksotis Pulau
Flores, propinsi Nusa Tenggara Timur. Yang menarik, sebelum dikenal oleh
warga Indonesia sendiri, desa adat ini sudah lebih dulu jadi primadona
bagi turis-turis asing.
Kisah perjalanan ke desa yang pernah
hampir punah ini ditulis oleh Wisnu Yuwandono. Simak yuk
penjelajahannya di desa yang terkenal dengan rumah kerucutnya ini!
Wae Rebo lebih dulu mendunia, setelah itu baru meng-Indonesia
Sebuah desa terpencil itu kini semakin dikenal luas. Bahkan lebih
dikenal dunia dahulu daripada di negerinya sendiri. Orang setempat
mengistilahkan Wae Rebo lebih dahulu mendunia, setelah itu baru
meng-Indonesia.
Kampung Wae Rebo terletak di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara
Timur, tepatnya di Kecamatan Satarmese Barat. Gunung-gunung megah yang
mengelilinginya membuat desa ini terisolasi. Untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, masyarakatnya harus berjalan kaki menembus hutan sepanjang 9
kilometer untuk sampai ke Denge, desa yang paling dekat dengan Wae
Rebo.
Bagaimana akses dan transportasi menuju Wae Rebo?
Lalu bagaimana jika kita ingin mengunjungi Wae Rebo? Jika ingin
melihat dunia luar, penduduk Wae Rebo harus menuju Denge terlebih
dahulu. Yang sebaliknya pun berlaku. Jika kita ingin menuju Waerebo,
kita harus ke Denge juga.
Untuk menuju Denge menggunakan
transportasi umum, kamu harus memulai perjalananmu dari Ruteng, ibukota
Kabupaten Manggarai. Ada penerbangan langsung ke Ruteng dari Denpasar,
hanya saja tidak setiap hari. Lebih mudah untuk ke Labuan Bajo terlebih
dahulu baru sebelum melanjutkannya dengan bus atau travel menuju
Ruteng.
Transportasi dari Ruteng ke Denge atau Dintor (Dintor
adalah desa di dekat Denge) tidaklah banyak. Ada bemo, semacam angkot,
yang beroperasi tidak setiap hari. Yang setiap hari tersedia adalah oto
kayu, truk yang bagian bak belakangnya disulap dengan papan-papan
menjadi tempat duduk penumpang.
Oto kayu ini pun hanya ada
satu-dua yang beroperasi tiap hari. Mereka berangkat dari Terminal Mena
di Ruteng sekitar jam 9 sampai 10 pagi. Sampai di Denge sekitar jam 2
siang. Mau waktu yang lebih fleksibel? Kamu bisa menggunakan ojek,
namun harus siap terjaga selama perjalanan.
Sebelum menuju Wae Rebo, kita harus singgah dulu di Desa Denge atau Dintor
Di Dintor ada sebuah penginapan bernama Wae Rebo Lodge. Pemiliknya
bernama Pak Martinus Anggo, orang Wae Rebo asli. Sedangkan di Denge,
desa terakhir sebelum perjalanan menuju Wae Rebo, ada
homestay Wejang Asih milik Pak Blasius Monta — juga orang Wae Rebo. Di dekat
homestay Wejang Asih ini pula terdapat Pusat Informasi dan Perpustakaan Desa Wae Rebo.
Pak
Blasius Monta dan Pak Martinus Anggo adalah dua orang yang sering
mempromosikan Wae Rebo sebagai tempat wisata. Mereka masih memiliki
pertalian darah, tepatnya saudara sepupu.
Trekking panjang penuh petualangan menuju Wae Rebo
Untuk memulai trekking menuju Wae Rebo, sebaiknya berangkatlah
pagi-pagi sekali. Pasalnya, sekitar 3-4 kilometer awal perjalanan tidak
tertutupi oleh pepohonan rindang. Bila kamu memulai trekking di siang
hari, risikonya adalah tersengat sinar matahari yang tak berbelas
kasihan.
Jika kamu kesiangan, jangan malah memilih berangkat malam
demi menghindari matahari. Hal ini tidak diperbolehkan. Trek yang akan
kamu lalui merupakan tanah yang labil dan rawan longsor, sehingga
sangat berbahaya jika trekking dilakukan pada malam hari.
3-4
kilometer awal perjalanan adalah jalanan yang cukup untuk pemanasan.
Tanjakannya belum terlalu curam, dan jalannya pun cukup lebar. Trek
selanjutnya adalah jalan setapak di tengah hutan yang sangat rimbun.
Beberapa kali jalurnya berada di pinggiran tebing yang langsung
berbatasan dengan jurang yang sangat dalam.
Jalanan yang akan kamu
lalui terus menanjak, hingga kamu sampai di jarak 2400 meter sebelum
Wae Rebo. Setelah itu, kamu akan menemui jalan datar. Kurang dari satu
kilometer dari Wae Rebo, jalananmu akan turun dan melewati kebun kopi.
Kira-kira
dibutuhkan 3-4 jam trekking untuk mencapai Wae Rebo. Saat musim hujan,
tanah trekking akan sangat licin dan banyak menjadi sarang lintah,
sehingga kamu harus lebih waspada.
|
Selamat datang di Wae Rebo |
Selanjutnya penduduk Wae Rebo akan menyapa dengan sangat ramah dan senyum yang sangat manis. Selamat datang di Waerebo
Mbaru Niang pernah sekarat dan hampir punah dari Wae Rebo
Wae Rebo terkenal dengan
mbaru niang, alias rumah tradisional berbentuk kerucut yang khas. Lebih dari beberapa dasawarsa terakhir, jumlah
mbaru niang
di Desa Wae Rebo hanya tinggal empat buah saja. Rumah yang tersisa itu
pun sebenarnya sudah sekarat kondisinya, lapuk dimakan usia.
Masyarakatnya
tak mampu lagi untuk membangun kembali dan melengkapinya menjadi tujuh
buah rumah seperti seharusnya. Kurangnya biaya menjadi alasan utama.
Tahun
2008 datanglah rombongan Yori Antar bersama rekan-rekanya. Mereka
adalah para arsitek yang penasaran dengan kampung tradisional di
pedalaman Flores ini. Hanya berdasarkan informasi dari internet dan
kartu pos yang bergambar Wae Rebo, mereka begitu tertarik lalu nekat
berangkat ke sana.
Kami kaget dengan kedatangan rombongan turis dalam negeri. Mereka adalah wisatawan Indonesia pertama yang datang ke Wae Rebo.
– Alexander Ngandus, tetua Desa Wae Rebo.
Pak Alex bercerita tentang kedatangan mereka saat itu. Warga Wae Rebo
sedang memperbaiki salah satu rumah kerucut bersama dengan orang-orang
dari Taiwan. Hujan begitu deras mengguyur, namun semangat mereka tidak
luntur untuk terus bekerja. Pada saat sedang sibuk-sibuknya itu muncul
rombongan warga Indonesia dengan keadaan basah kuyup.
Sebenarnya
ada rasa jengkel saat itu. Kami sedang sibuk memperbaiki rumah tapi
tiba-tiba harus menerima tamu yang cukup banyak. Kami hanya bisa
menyambut mereka dengan seadanya saja. Hanya kain sarung yang bisa kami
sediakan untuk menutupi badan mereka yang basah kuyup, kenang Pak
Alex.
Tak disangka, bantuan dari swasta dan pemerintah terus mengalir. Wae Rebo pun terselamatkan..
Namun, justru kedatangan Yori Antar dan kawan-kawan yang awalnya
merepotkan ini malah selanjutnya memberi anugerah kepada masyarakat
Wae Rebo.
Melihat kondisi Wae Rebo yang sudah sekarat, Yori Antar
dengan Yayasan Rumah Asuh berupaya untuk mengembalikan keadaannya
kembali sehat. Bantuan dari swasta dan pemerintah serta beberapa
donatur mulai mengalir, mereka tergerak untuk menyelamatkan Wae Rebo.
Tahun
2010, dua rumah kerucut yang sudah sekarat direnovasi. Selanjutnya
tahun 2011 tiga rumah kerucut yang sebelumnya hilang dibangun kembali.
Akhirnya Wae Rebo memiliki tujuh rumah kerucut lagi seperti sedia kala.
Tahun berikutnya dua rumah lagi direnovasi, sehingga sekarang ketujuh
rumah ini dalam kondisi yang sangat bagus.
Sangat sulit untuk membangun kembali mbaru niang tanpa bantuan dari luar
-Blasius Monta, warga Wae Rebo, guru di SD Denge.
Tanpa bantuan dari luar, sangat sulit untuk membangun rumah kerucut Mbaru Niang
Pada tahun 1997 Pemda Manggarai pernah merenovasi Mbaru Tembong -rumah
utama di Wae Rebo- biayanya sekitar Rp 30 juta. Lalu yang kemarin ini
satu rumah membutuhkan biaya sekitar Rp 300-an juta. Kami tidak mampu
kalau harus menanggungnya sendiri lanjutnya.
Untuk membangun kembali ketujuh rumah tersebut, kebanyakan material
memang tersedia di sekitar desa. Akan tetapi jumlahnya tidak mencukupi
lagi, sehingga ada beberapa material yang harus didatangkan dari luar
daerah. Itulah yang menyebabkan biaya menjadi membengkak.
Sebelum dikenal di dalam negeri, kampung Wae Rebo sudah dulu dikenal oleh turis asing
Pak Blasius menceritakan sebelum kedatangan rombongan Yori Antar yang
membuat Wae Rebo dikenal di dalam negeri, kampung ini sudah banyak
dikenal oleh kalangan wisatawan asing. Sebelum tahun 2000-an hanya ada
beberapa turis saja yang datang. Dari situ Pak Blasius meminta foto-foto
dari mereka.
Selanjutnya pada awal tahun 2000-an Pak Blasius
berupaya mengenalkan kampung halamannya dengan memasang foto-foto
tersebut di beberapa hotel dan travel agen di kota Ruteng. Dari
foto-foto tersebut pada awal tahun 2002 datanglah beberapa turis asing
ke desa ini. Lambat laun menyebarlah berita tentang keindahan arsitektur
dan keramahan Wae Rebo ke berbagai kalangan.
Pariwisata menyelamatkan Wae Rebo
Rumah Pak Blasius disulap menjadi
homestay untuk mengakomodasi kebutuhan istirahat para tamu sebelum berangkat atau sesudah turun dari Waerebo.
Homestay Wejang
Asih miliknya tersedia setidaknya 11 kamar yang bisa disinggahi untuk
mengumpulkan kekuatan sebelum berjalan sekitar 3 jam atau lebih ke Wae
Rebo ataupun untuk mengembalikan tenaga ketika setelah turun.
Bahasa
Inggris cukup dikuasai oleh Pak Blasius. Hal ini dirasa penting olehnya
karena memang turis asing masih mendominasi jumlah kunjungan, meskipun
akhir-akhir ini
traveler dalam negeri mulai mengimbangi.
Selain
Pak Blasius penduduk Wae Rebo juga sudah bisa mengucapkan beberapa kata
umum dalam bahasa Inggris. Beberapa kali ada bimbingan bahasa asing
untuk warga Wae Rebo oleh mahasiswa sekolah bahasa dari Ruteng.
Wae
Rebo terus berbenah dalam menerima tamu. Untuk menata administrasi
pariwisata mereka membentuk Lembaga Pariwisata Wae Rebo (LPW). Dari
lembaga ini ditentukan tarif untuk bermalam di Wae Rebo sebesar Rp 250
ribu sudah termasuk 3 kali makan. Jika tidak menginap pengunjung
membayar retribusi Rp 100 ribu.
Sebagian orang menganggapnya
terlalu mahal untuk membayar sebesar itu. Tapi saya rasa uang sebesar
itu cukup wajar mengingat bahan makanan yang kita lahap saat di sana
harus diambil dari desa di bawah yang jaraknya sekitar 9 km lebih.
Mereka harus memikul beras dan kebutuhan pokok lain mendaki gunung untuk
sampai kembali di Wae Rebo.
Meski pariwisata semakin maju, penduduk setempat tak lantas berpangku tangan
Meski pariwisata terus menggeliat di sini, warga Wae Rebo tidak
lantas berpangku tangan dari para wisatawan, mereka tetap bekerja di
bidangnya seperti sebelumnya. Mereka memiliki kebun kopi yang hasilnya
dijual ke desa di bawah dan selanjutnya ke para pengepul kopi. Ibu-ibu
juga tetap menenun kain songke yang untuk dipakai pribadi atau dijual.
Semuanya berjalan seperti biasa.
Tanpa himbauan dari wisatawan, warga Wae Rebo pun akan senantiasa menjaga tradisi leluhur mereka
Saat ini, setiap malam sampai sekitar jam 22.00 WITA ada generator
yang bekerja untuk menyalakan lampu. Sudah beberapa tahun hal ini
berjalan. Hasil dari kunjungan wisatawan itu salah satunya untuk memberi
minum solar kepada generator. Belum lama ini juga ada kelompok dari
Bandung yang akan membangun PLTA untuk menggantikan generator solar.
Mereka
hendak memanfaatkan sumber air yang melimpah di sekitar Waerebo.
Rencananya proyek ini akan dimulai tahun ini. Meskipun listrik sudah
masuk ke sini, untuk menjaga keaslian rumah dan budaya mereka televisi
masih dilarang keberadaannya.
“Tiap kali ada tamu yang datang ke sini, mereka selalu bilang kepada
kami untuk menjaga adat yang kami miliki. Tanpa ada himbauan dari mereka
pun kami akan tetap menjaga tradisi leluhur kami,” Pak Alex menyudahi
percakapan kami di salah satu Mbaru Niang tempat tinggalnya.
Informasi :
Travel Labuan Bajo Ruteng : 70 ribu (4-5 jam)
Oto
kayu Ruteng Denge/Dintor : 30 ribu (4 jam) dari Ruteng sekitar jam
9-10 pagi. Dari Denge/Dintor Ruteng oto kayu start pagi-pagi sekali
dari jam 3-5 pagi
Ojek Ruteng Dintor/Denge : 150ribu-200ribu
Guide/porter ke Waerebo (wajib) : 150ribu
Menginap di Waerebo : 250ribu/orang (dapat makan selama tinggal) jika tidak menginap membayar 100ribu/orang
Sebelum
berkeliling desa pengunjung harus masuk ke rumah utama (rumah gendang)
dan disambut dengan Upacara Wae Lu’u terlebih dahulu untuk memohon ijin
kepada para leluhur untuk menerima tamu. Siapkan uang 20ribu/rombongan
atau seikhlasnya sebagai sesaji.
Baca Juga :
Referensi:
hipwee